5 Kegiatan ‘Toxic’ dari Guru dan Orang Tua yang Bisa Membuat Anak Tumbuh Egois

Hallo, Salam kembali kita berjumpa. Informasi terbaru dari Admin nih tentang 5 Kegiatan ‘Toxic’ dari Guru dan Orang Tua yang Bisa Membuat Anak Tumbuh Egois. Yang dikutip dari naikpangkat.com.

Anak tumbuh egois – Ilmu parenting memang sejatinya diberikan kepada orang tua agar dapat mendidik anak-anaknya dengan baik dan benar. Bertujuan agar anak-anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan usianya.

Tidak ada tindak kekerasan yang tidak disengaja karena kurangnya ilmu. Hal tersebut bertujuan agar tidak memberikan trauma yang membekas sampai anak tumbuh dewasa.

Namun, karena saat ini banyak orang tua yang bekerja di luar dan tidak dapat sepenuhnya mendampingi tumbuh kembang anaknya. Banyak lembaga yang menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA). Disana, tidak sekedar untuk menitipkan di pagi hari lalu sore harinya dijemput dan di TPA anak hanya diberi alat permainan.

Banyak TPA yang sudha menyediakan guru dalam pelayanannya. Sehingga tumbuh kembang anak dapat maksimal. Oleh karena itu, sebagai guru di TPA fungsinya dapat dikatakan sebagai pengganti peran orang tua. Dimana usia anak yang masuk di TPA sebagian besar adalah anak usia kurang dari tiga tahun.

Penelitian memperlihatkan bahwa pada usia tiga tahun, anak-anak mulai memperlihatkan keibaan hati dan empati yang tulus, dan dapat memahami bahwa perasaan dan pengalaman mereka bisa berbeda dengan perasaan orang lain.

Hal ini tidak hanya untuk guru di lembaga usia dini, namun untuk pelatih orang tua juga dapat memperhatikan hal ini. Beberapa kesalahan pengasuhan yang beracun yang saya perhatikan bahwa anak-anak dapat menjadi lebih egois dan berhak di saat dewasa:

Mengatakan “Ya” Dihampir Semua Hal

Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan sikap sok hebat berasal dari pengasuhan yang berlebihan dan terlalu memanjakan anak-anak. Yang demikian dapat memantik anak tumbuh menjadi seorang yang egois.

Hal tersebut menjadikan lebih peduli terhadap diri sendiri, kurang berempati terhadap orang lain, tidak memiliki etika kerja yang kuat, dan mungkin bersikap seolah – olah aturan tidak berlaku bagi mereka.

Mengajarkan keibaan hati kepada anak-anak menuntut orang tua dan guru untuk mulai sesekali mengatakan tidak. Misalnya “tidak, anda tidak akan membeli hal yang mereka inginkan”, “Tidak, kamu tidak akan diajak bicara seperti itu”

Memberi konsekuensi atas tindakan mereka yang tidak sehat akan mendukung kesanggupan mereka untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang.

Gagal Menciptakan Kesempatan Belajar

Anak tumbuh egois juga bisa disebabkan oleh guru dan orang tua yang mungkin berpikir mereka tidak memperhatikan. Padahal anak-anak mengamati dengan cermat untuk melihat bagaimana orang di sekitarnya menanggapi situasi.

Anda ingin mereka menyaksikan cara anda melihat kebaikan dalam diri setiap orang, tidak peduli seberapa kecil masalahnya atau siapa orangnya. Bahkan anak-anak termuda bisa terbiasa dengan gagasan menempatkan diri mereka dalam sepatu orang lain.

Sebagai contoh, guru dan orang tua tidak membiarkan anak-anak melakukan sendiri kegiatan untuk dirinya. Seperti mengenakan baju, membuat roti isi, mengenakan alas kaki, dan lain sebagainya. Sebaiknya biarkan anak melakukan hal seperti itu sendiri.

Ketika hal tersebut dibiarkan sampai anak tumbuh dewasa, akan sulit untuk diterima di masyarakat. Karena semuanya harus melayani mereka. Padahal, ilmu dasar seperti itu harus dimiliki. Untuk memudahkan anak mengerjakan tugasnya secara mandiri.

Tidak Melihat Permasalahan yang Terjadi di Dunia

Biasanya, orang dewasa akan menutup-nutupi apa yang diberitakan di televisi atau sosial media. Karena takut membuat anak menjadi penakut akan suatu bencana misalnya.

Ketika ada gempa bumi yang merusakkan puluhan rumah dan membuat ada korban. Orang dewasa akan berbicara “itu sungguh mengerikan, kamu masih kecil tidak akan mengerti,”

Padahal ketika sejak usia dini anak dikenalkan kejadian-keajdian yang serupa, maka anak dapat tumbuh menjadi orang yang kritis. Dimana ketika ada permasalahan muncul, anak akan langsung menanggapinya. Tidak akan bersikap cuek dan bodo amat.

Pada saat anak-anak berusia delapan tahun, mereka dapat memahami bahwa perasaan seseorang mungkin tidak didasarkan pada apa yang terjadi pada mereka saat itu, tetapi mungkin merupakan produk sampingan dari keadaan hidup umum mereka.

Selama periode perkembangan ini, anak-anak juga bertumbuh menjadi pemahaman dan empati yang lebih konkret bagi sekelompok orang yang tertindas. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk berbicara dengan mereka mengenai apa yang mungkin mereka lihat dalam berita, mendengar di luar rumah, atau membaca di media sosial.

Gunakan saat-saat ini untuk menunjukkan bagaimana memperlihatkan kepedulian, dukungan, atau sikap berbicara yang tulus bagi orang lain. Semakin banyak benih belas kasih yang anda tabur, semakin anak-anak anda akan menuai kehidupan pelayanan bagi orang lain.

Memberi Anak Segalanya Tanpa Mengajari Rasa Terima Kasih

Bekerja untuk uang saku mereka atau karena mereka adalah bagian dari keluarga, mengajari anak-anak untuk mendukung orang lain, yang membantu mereka memahami pentingnya masyarakat dan kerja sama tim.

Anak-anak belajar untuk bersyukur ketika mereka tidak mendapatkan semua yang mereka minta. Biarkan mereka menginginkan hal-hal tambahan.

Ajarilah mereka untuk mengucapkan “terima kasih” (bahkan ketika itu untuk es teh tawar dari seorang pemulung). Kemudian, guru dan orang tua dapat meminta kepada mereka menyimpan “jurnal bersyukur.”

Di rumah dan sekolah, hendaknya memiliki papan tulis yang berisikan pertanyaan-pertanyaan kepada anak. Kemudian meminta anak untuk menulis jawaban-jawabannya. Senaiknya, pertanyaan itu mengenai tentang rasa syukur dan ucapan syukur.

Terimakasih merupakan salah satu bagian dari kata ajaib yang seharusnya menjadi kebiasaan untuk anak. Kata ajaib lainnya adalah maaf, minta tolong, dan permisi. Kata ajaib merupakan dasar sopan santun yang harus dimiliki oleh semua orang. Maka dari itu, untuk membiasakannya harus dilakukan sejak kecil.

Ketika berbicara kepada orang yang selalu menyisipkan kata ajaib akan membuat orang lan lebih menghormati dan menghargai. Jangan sampai, anak-anak generasi mendatang melupakan hal ini. Karena tidak akan ada lagi kedamaian apabila tidak ada rasa saling menghormati dan menghargai dalam sesama.

Tidak Memperkenalkan Anak untuk Melakukan Sesuatu Secara Ikhlas

Kita tidak bisa selalu mengalami apa yang dialami orang lain, tapi kita sebagai orang dewasa bisa merasakan keadaan mereka dengan rasa empati yang kita miliki. Hal tersebut sebaiknya diajarkan kepada anak-anak. Dengan membantu orang yang sedang kesusahan, sebagai contoh.

Ketika anak ikut serta dalam membantu orang llain yang sedang mengalami kesusahan, maka yang guru dan orang tua harapkan adalah anak tidak meminta imbalan kepada mereka. Sebab, bagi orang yang sedang mengalami kesusahan akan sulit untuk membayarnya.

Itulah mengapa pendidikan yang baik harus diajarkan pada anak sejak usia dini. Karena kita sebagai orang dewasa tidak ingin ada anak-anak penerus bangsa yang memiliki sifat egois dan tidak peduli terhadap sekitar. Bagaimana negara akan mengalami kemajuan sedangkan generasinya memiliki sifat yang tidak baik.

Untuk menghindari anak tumbuh egosi dan menghindari dari hal-hal yang menyebabkan anak tumbuh dengan kurang baik, maka perlu adanya pendidikan kecakapan parenting bagi orang tua dan guru.

Tingkatkan kualitas mengajar Anda dengan bergabung bersama e-Guru Id dan nikmati pelatihan gratis bersertifikat 32 JP setiap bulan serta fasilitas-fasilitas lainnya.

Klik disini untuk mendaftar!

Artikel 5 Kegiatan ‘Toxic’ dari Guru dan Orang Tua yang Bisa Membuat Anak Tumbuh Egois pertama kali tampil pada NaikPangkat.com.



Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.


EmoticonEmoticon