Oleh N. Ai Kusumawati, S.Pd.
Mengajar di SMP Negeri 1 Dayeuhkolot, Bandung
Sejak kecil, sebenarnya saya ingin menjadi Kowad atau Polwan. Ternyata Allah berkehendak lain.
Saya lahir tahun 1969 di sebuah kampung bernama Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Saya dibesarkan oleh keluarga kecil dan sederhana. Bapak dan ibu berprofesi guru SD. Saya merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Kami sekeluarga tinggal di perumahan sekolah.
Waktu kecil adalah masa-masa yang mengesankan. Pagi hari saya selalu ikut bapak ke kelas. Saya duduk di kursi guru sambil memperhatikan bapak mengajar. Kadang kalau rapat ke kecamatan, saya mengikutinya juga. Apapun kegiatan bapak, baik di dalam maupun di luar sekolah, saya selalu mengikutinya. Saya lebih dekat dengan bapak, karena ketika saya baru berusia 2,5 tahun, ibu sudah melahirkan adik pertama.
Tahun 1975, ketika ibu melahirkan adik kedua, mereka pindah tugas. Dari SD Cirapih, bapak pindah ke SD Nangkasari dan ibu ke SD Cibalong 1. Kami pun pindah rumah, tinggal di sebelah rumah nenek. Tahun itu pun saya masuk TK. Saya selalu diantar jemput oleh bapak. Satu kenangan waktu TK yang sulit terlupakan, saya selalu dikasih uang jajan Rp. 10 berbentuk koin kecil, selalu utuh dan saya bawa pulang kembali kemudian dimasukkan celengan.
Tahun 1976 saya masuk SD di sekolah tempat ibu mengajar. Selama di SD, saya selalu aktif mengikuti ekskul Pramuka, seni Degung (karawitan), dan tari. Saat malam kesenian setelah pembagian rapor, saya selalu tampil tari dan degung. Juga selalu mendapat hadiah sebagai peringkat pertama. Satu peristiwa tak terlupakan lagi, saat kelas 3 ada perpanjangan waktu belajar sampai 1,5 tahun.
Saya masuk SMP tahun 1982, saat Gunung Galunggung meletus. Sehingga kalau berangkat ke sekolah harus berkerudung dan harus pakai masker untuk melindungi dari debu. Di fase ini, saya masih aktif mengikuti kegiatan Pramuka, kesenian degung (karawitan), dan Saka Bhayangkara. Juga aktif di OSIS saat menginjak kelas 2 dan 3 menjabat sebagai bendahara. Satu kenangan membekas dari SMP ini yaitu saat menjadi juara umum, mendapatkan nilai tertinggi waktu kelas 1 (sekarang kelas 7).
Selepas SMP, saya ingin masuk SMA karena bercita -cita jadi Polwan/Kowad. Namun orang tua terutama bapak menyarankan ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Selalu terngiang perkataan bapak waktu itu,”Lulusan SPG itu diangkat jadi guru, walau tidak kuliah. Bapak ingin Teteh (kakak) jadi PNS. Kalau Bapak dan ibu meninggal, Teteh jadi pengganti orang tua.”
Saya tidak bisa menolak, saya mengikuti kemauan beliau. Namun dengan perjanjian kalau tidak masuk SPG Negeri, saya harus boleh sekolah di SMA swasta.
Masuk SPG ada dua tahap seleksi yaitu dari NEM (Nilai Ebtanas Murni) dan wawancara. Saat wawancara, saya menjawab pertanyaan dengan tak serius, berharap gagal masuk SPG Negeri. Namun doa orang tua sangat ampuh, saya tetap diterima di SPG Negeri. Kemudian saya tinggal di asrama seorang guru SPG Negeri di Tasikmalaya.
Masa SPG itu semangat belajar menurun, tidak seperti waktu SD dan SMP. Tapi dalam hati berjanji rata-rata rapor harus tetap di atas 7. Waktu itu masih ada angka merah jika nilainya 5 ke bawah.
Ketika di SPG ini, saya lebih rajin untuk mengikuti kegiatan Pramuka, kesenian, Saka Bhayangkara, dan Panjat Tebing. Sehingga saat pembagian rapor, saya harus puas dengan peringkat belasan.
Memasuki tahun ketiga, saya mulai berubah pikiran dan kembali semangat belajar karena melihat rapor tidak sebagus waktu SD dan SMP. Saya berpacu untuk menghadiahkan prestasi dan menjadi kebanggaan orang tua. Alhamdulillah, prestasi itu dapat diraih walau hanya peringkat 2. Satu kebanggaan yang sangat membekas ketika mendapatkan nilai 10 (sempurna) pada pelajaran Matematika.
Selepas SPG, mau tidak mau saya harus kuliah ke jurusan pendidikan. Hanya ada satu pilihan perguruan tinggi negeri di Jawa Barat waktu itu yaitu IKIP Bandung (sekarang UPI). Saya pun mengikuti Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), tetapi gagal.
Kemudian saya coba daftar ke di kampus swasta yaitu STKIP Galuh Ciamis. Kebetulan waktu itu untuk mahasiswa yang orang tuanya guru SD, uang kuliah per tahun bisa dicicil selama 10 bulan dengan skema langsung potong gaji. Alhamdulillah, saya berhasil diterima di jurusan Matematika. Saya mengambil D-3 karena masih 3 orang adik yang butuh biaya pendidikan. Kata Bapak,”Teteh, biar cepat selesai kuliah. Nanti gantian dengan adik yang kedua, bagi-bagi biaya.”
Memasuki semester ke-2, ada berita tak enak. Ternyata jurusan Matematika belum terakreditasi. Kami disarankan gabung ke STKIP Garut. Tapi saya tetap bertahan tapi mengambil keputusan pindah jurusan Bahasa Indonesia dengan pertimbangan biaya. Sebab kalau tinggal di Garut pasti harus menyiapkan biaya kos.
Pada tahun 1989 ada seleksi guru SD. Saya mengikutinya, namun gagal. Mungkin ini karena bertentangan dengan harapan orang tua. Bapak dan ibu mengharapkan anak-anaknya lebih dari orang tuanya dalam segala hal. Masih terngiang, kata orang tua, “Bapak sama ibu tidak bisa mewarisi harta, hanya bisa mewarisi dengan ilmu. Bapak dan ibu guru SD, semoga anak-anak lebih dari itu… minimal jadi guru SMP.”
Pada tahun 1990, saya menyelesaikan pendidikan D-3 dengan peringkat ketiga. Ada satu cerita menarik, saya ditawari oleh seseorang kesempatan melanjutkan pendidikan S-1. Tapi syaratnya harus mau nikah dengan dia (dosen bujang). Saya secara halus menolaknya karena cita-cita saya hanya mau menikah setelah jadi guru (PNS).
Selepas kuliah, saya memberikan les privat kepada anak keturunan Tionghoa, anak bos adik saya. Satu anak SD dan satu anak SMP jadi peserta les tersebut. Setiap ada perkembangan pada dua anak tersebut, saya selalu dikasih tips. Kalau melihat materi, gaji yang saya dapatkan sudah melebihi yang didapatkan bapak dan ibu. Namun beliau berdua kurang setuju, dengan alasan itu hanya sementara. Mereka menyarankan lebih baik jadi guru sukwan (sukarelawan) di sekolah negeri dengan harapan bisa diangkat jadi PNS.
Tahun ajaran baru 1992-1993, saya putuskan sukwan di SMP Negeri 2 Karangnunggal yang baru berdiri satu tahun. Baru ada Kepala Sekolah dan dua guru PNS. Selama menjadi guru sukwan, saya mengajar Matematika. Semua guru nyaris tidak percaya bahwa saya lulusan Bahasa Indonesia. Berbekal ilmu dari SPG, saya bisa mengajar Matematika.
Tahun 1994, ada pendaftaran CPNS untuk guru Bahasa Indonesia. Saya mengikutinya dan alhamdulillah langsung lulus seleksi. Saya ditempatkan di SMP Negeri 1 Karangampel, Indramayu TMT 1 Maret 1995.
Hati merasa senang dan sedih. Senang karena diangkat jadi CPNS, sedih karena harus berpisah dengan warga SMP Negeri 2 Karangnunggal. Saat pamitan, saya tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh terharu berpisah dengan mereka karena ternyata saya sangat berkesan di hati mereka. Kepergian saya diiringi isak tangis dan doa mereka.
”Selamat tinggal anak-anakku, rekan guru-guru, dan TU. Semoga ada pengganti guru Matematika yang lebih baik dan PNS yang diangkat di sini ,” kata batin saya.
Di kota Indramayu, saya menata harapan baru. Di SMP Negeri 1 Karangampel, ternyata guru yang linier Bahasa Indonesia hanya dua orang. Sehingga ketika pertama saya masuk, sudah diberi tugas mengajar kelas 1 dan 2 sebanyak 7 kelas (42 jam pelajaran) dengan dua waktu belajar, pagi-sore. Meski cukup berat, saya menjalani dan menikmati dengan senang hati. Apalagi dapat bekerja dengan guru-guru yang sangat baik.
Waktu perpisahan kelas 3, saya ditugaskan untuk mengisi upacara adat. Bagian Kesiswaan berkata, “Bu Ai, tolong pada acara perpisahan menyiapkan upacara adat nanti bersama-sama dengan Pak Duryan. Saya percaya, guru dari Priangan Timur pandai bermain degung dan nari.”
Saya hanya bisa menjawab, “ InsyaAllah,Pak. Saya mohon petunjuk dan bimbingan Bapak.” Alhamdulillah ternyata ada manfaatnya semasa sekolah dulu pernah mengikuti ekskul tari dan karawitan.
Agustus 1996, saya memutuskan menikah dengan seorang TNI-AD yang bertugas di Yon Zipur 3 DAM III Siliwangi, Bandung. Cita-cita Polwan/Kowad menag tidak bisa diraih, tapi memiliki suami seorang tentara yang menjadi benteng negeri sudah lebih dari cukup.
Ketika usia pernikahan seusia jagung, kami harus hidup terpisah. Saya di Indramayu, suami di Bandung. Pada bulan April 1997, saya mutasi ke SMP Negeri 1 Dayeuhkolot, Bandung, sehingga dapat tinggal bersama suami setiap hari. Dan sampai sekarang, saya masih mengajar di sekolah tersebut.
Sudah seperempat abad lebih saya menjadi guru. Ternyata profesi guru sangat menyenangkan di mana saya bisa berbagi ilmu kepada peserta didik. Di sisi lain, tugas sebagai ibu rumah tangga tetap saya laksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon