Ditulis oleh Gati Destiyani
Mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana
Transisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menuju jenjang Sekolah Dasar (SD) adalah proses di mana anak berpindah dari perannya sebagai peserta didik di tingkat PAUD menjadi peserta didik SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Transisi yang dialami oleh anak dari PAUD ke SD haruslah mulus, anak tidak perlu melakukan terlalu banyak penyesuaian sebagai akibat dari perpindahan tersebut.
Transisi PAUD ke SD yang tidak membebani peserta didik perlu menjadi sebuah “Gerakan” (bukan program pihak tertentu) karena gerakan ini melibatkan seluruh pihak termasuk masyarakat, mitra, orang tua, dan lain sebagainya).
Tujuan dari gerakan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan untuk memastikan bahwa di manapun titik berangkat belajar anak, mereka berhak mendapatkan hak yang sama, yaitu memiliki kemampuan fondasi agar dapat siap bersekolah dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Sayangnya, masih banyak ditermukan fenomena di tengah masyarakat kita, pihak yang memiliki miskonsepsi terhadap pembelajaran untuk anak usia dini. salah satu miskonsepsinya yaitu pendidikan anak usia dini (PAUD) yang berfokus pada kegiatan membaca, menulis dan berhitung (S. G. Safitri & Aulina, 2022). Begitu juga persepsi memasuki awal Sekolah Dasar (SD) adalah memasuki jenjang pendidikan yang sarat akan muatan kognitif, diikuti oleh tuntutan adanya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau yang sering dikenal dengan Calistung pada kelas awal 1 (satu). Anak-anak yang sudah bisa Calistung dianggap tidak akan menghambat proses belajar mengajar.
Hal tersebut kemudian ditangkap oleh pihak pengelola SD untuk melakukan tes Calistung saat penerimaan peserta didik baru. Kemudian diikuti pula oleh pengelola PAUD agar para guru yang terlibat di dalamnya berorientasi pada kemampuan membaca, menulis dan berhitung pada peserta didiknya.
Pada kondisi miskonsepsi seperti itu, guru PAUD maupun guru SD kelas awal merasa menjadi pihak yang paling bertanggung jawab sehingga penerapan pembelajarannya berfokus pada pembelajaran Calistung tanpa memperhatikan tahapan perkembangan dan kebutuhan anak usia dini.
Miskonsepsi pembelajaran seperti ini disebabkan beberapa hal:
- Kurangnya Pemahaman tentang Kemampuan Fondasi
Kemampuan yang dibangun pada anak di fase PAUD dianggarap harus berfokus pada Calistung dan dinilai sebagai satu-satunya bukti keberhasilan belajar.
- Sempitnya Pemahaman tentang Calistung
Kemampuan Calistung dipahami secara sempit dan dianggap dapat dibangun secara instan.
- Calistung sebagai Syarat Masuk Jenjang SD
Tes Calistung masih kerap diterapkan sebagai syarat masuk SD. Hal ini bisa menjadi problem dalam transisi antara PAUD ke SD.
Oleh sebab itu, perlu beberapa langkah inovatif agar dapat membangun kemampuan pada anak yang dapat dilakukan secara bertahap, bermakna, dan dengan cara yang menyenangkan agar manfaat baik dari pembelajaran bisa tercapai.
Jika miskonsepsi yang terjadi saat ini terus dilakukan, niscaya akan berdampak buruk pada mental anak ketika sedang belajar. Misalnya, ketika anak baru memasuki fase sekolah dasar belum bisa Calistung, dirinya akan merasa bodoh. Hal seperti ini tidak boleh terjadi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, pendidikan usia dini adalah upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Selain itu, Wulansuci (2021) menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah membimbing anak dalam mengembangkan potensinya, mengawasi perilaku anak, memberikan pengalaman yang menyenangkan, membangun kemampuan fondasi anak dan mengembangkan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Pada masa PAUD, anak tidak perlu dipaksa untuk bisa membaca dan menulis. Pendidikan difokuskan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang mendukung anak tersebut dalam menjalani jenjang selanjutnya. Kemampuan yang dibutuhkan dalam perkembangannya di antaranya adalah kesadaran personal, pengembangan emosi, membangun sosialisasi, perkembangan komunikasi, perkembangan kemampuan motorik, dan perkembangan kognitif (Hasanah, 2016).
Berikut ini adalah gambaran kondisi anak ketika anak belum mampu Calistung saat pertama kali masuk di jenjang SD dan harapan ideal yang seharusnya terjadi dengan menerapkan konsep yang benar dalam transisi PAUD ke SD:
Kondisi yang terjadi | Kondisi yang diharapkan |
Anak merasa belajar tidak menyenangkan. | Anak merasa senang dalam belajar. |
Anak percaya bahwa dirinya tidak pintar saat tidak dapat calistung. | Anak percaya bahwa dirinya pasti bisa asalkan mau berusaha. |
Anak belum mampu mengelola emosi serta menghargai orang lain. | Anak mampu mengelola emosi dan menghargai orang lain. |
Anak belum dapat merawat diri dan barang-barang yang menjadi tanggung jawabnya. | Anak dapat merawat diri dan barang-barang yang menjadi tanggung jawab diri. |
Anak mampu membaca namun tidak paham arti kata. | Anak paham kata dan keterkaitannya dengan huruf serta bunyinya. |
Anak kurang terasah kemampuannya dalam berkomunikasi. | Anak mampu menyimak dan dapat mengutarakan gagasan sederhana. |
Anak mampu melakukan penjumlahan hanya apabila mengurutkan bilangan (karena hafal, bukan paham). | Anak paham bahwa 5 + 3 = 5 objek ditambah dengan 3 objek. |
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan bahwa proses belajar mengajar di PAUD dan SD kelas awal harus selaras dan berkesinambungan dengan memperhatikan fondasi yang dimiliki oleh anak ketika masuk ke fase berikutnya.
Setiap anak memiliki hak untuk dibina agar mendapatkan kemampuan fondasi yang holistik, bukan hanya kognitif, melainkan juga kematangan emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan lainnya.
Kemampuan dasar literasi seperti menulis dan membaca memang sangat penting untuk peserta didik. Namun semua itu tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan harus dibangun mulai dari PAUD secara bertahap dan dengan cara yang menyenangkan.
Dengan demikian, maka anak akan siap memasuk tiap jenjang pendidikan dengan hati yang riang dan gembira.
REFERENSI
Hasanah, U. (2016). Pengembangan kemampuan fisik motorik melalui permainan tradisional bagi anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak, 5(1). https://journal.uny.ac.id/index.php/jpa/article/view/12368
Safitri, S. G., & Aulina, C. N. (2022). Analisis Pemahaman Pendidik Anak Usia Dini Kelompok Usia 5-6 Tahun Terhadap Kurikulum Merdeka Belajar. Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(2), 76–87. https://murhum.ppjpaud.org/index.php/murhum/article/view/131
Wulansuci, G. (2021). Stres Akademik Anak Usia Dini: Pembelajaran CALISTUNG vs. Tuntutan Kinerja Guru. Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 6(2), 79–86.
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon