Oleh: Betty Wahyu Prihatin, S.S
Tanpa kita sadari bahwa pendidikan di Indonesia telah mengalami fase demoralisasi (kemerosotan akhlak) sehingga memicu terjadinya krisis nilai dan moral di negeri ini. Maraknya praktik korupsi, kolusi, nepotisme, pembunuhan, perkelahian, tawuran, penganiayaan, penipuan, penyuapan, penggelapan, mafia hukum, makelar kasus dan krisis nilai serta moral lainnya adalah salah satu penanda.
Melihat fenomena itu, harapannya setiap output yang dihasilkan dari sekolah atau perguruan tinggi mampu menjawab kemerosotan akhlak tersebut. Namun faktanya, justru malah menjadi korban baru dengan label modernisasi dan globalisasi.
Pendidikan merupakan proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku menuju kedewasaan dengan ciri utama munculnya sikap bertanggung jawab. Manusia dewasa adalah mereka yang berani berbuat dan berani bertanggung jawab, baik bertanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran atau bahkan bertanggung jawab ketika dia melakukan sebuah kesalahan.
Dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 menetapkan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu:“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Namun fakta yang terjadi di lapangan sangatlah berbeda, jauh panggang daripada api. Pendidikan di Indonesia telah mengalami fase demoralisasi karena output yang dihasilkan dari sekolah atau perguruan tinggi tidak dapat mengatasi keterpurukan moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Tulisan ini dibuat berangkat dari keresahan penulis yang melihat fenomena demoralisasi sering terjadi yang memicu terjadinya krisis nilai dan moral. Berbagai upaya rekonstruksi untuk perbaikan kualitas di berbagai lini dan sektor pendidikan seringkali dicanangkan. Baik itu perbaikan sistem, reformulasi kurikulum, upaya peningkatan kualitas guru, hingga pengalokasian anggaran dana sebesar 20% dari APBN pun seakan tak mampu menjawab semua problematika pendidikan bangsa yang kian menggurita.
Kebijakan Pendidikan Sekuler dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
Bila kita mencermati secara mendalam, ternyata proses politik sekularisasi pendidikan ini telah merambah masuk ke dalam wilayah sistem pendidikan nasional di Indonesia. Antara lain dapat dilihat pada pasal 4, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”
Bila rumusan Pasal 4 Ayat 1 yang mengatur prinsip penyelenggaraan pendidikan ini ditelaah dengan seksama, maka sesungguhnya dapat dilihat dengan jelas secara nyata dan transparan, bahwa politik sekuler di Indonesia telah masuk dalam rumusan undang-undang sistem pendidikan nasional Indonesia. Karena dari keenam ayat yang mengatur prinsip penyelenggaraan pendidikan yang ada dalam undang-undang tersebut, maka prioritas utama yang harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan adalah hak asasi manusia, sehingga dalam berbagai kebijakan dan pandangan pejabat yang berwenang dalam mengatur pelaksanaan pendidikan di negeri ini, menempatkan hak asasi manusia sebagai prinsip yang paling utama di atas prinsip agama. Dengan kata lain kedudukan nilai-nilai agama tidak boleh berbenturan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Pendidikan di Indonesia: Proses mencari bentuk yang ideal atau hegemoni kepentingan penguasa
Sejak Indonesia merdeka telah terjadi perubahan kurikulum sebanyak 9 kali, sedangkan setelah era reformasi sampai saat ini kurikulum pendidikan Indonesia mengalami perubahan sebanyak tiga kali; tahun 1999 populer dengan suplemen kurikulumnya, tahun 2004 dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), tahun 2006 dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan tahun 2013 merupakan reaksi atas kritikan masyarakat karena rendahnya hasil belajar siswa.
Perubahan kurikulum ini suatu keniscayaan, karena kurikulum dibentuk untuk menghadapi tantangan zaman, kebutuhan pasar, serta perkembangan IPTEK. Melihat komponen-komponen tersebut bukanlah merupakan hal yang stagnan, tetapi senantiasa akan mengalami perubahan. Jadi merupakan suatu kewajaran jika setiap saat ada perubahan kurikulum. Selain kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka juga lahir karena alasan serupa yaitu siswa dianggap terlalu dibebani dengan aspek kognitif dan kemampuan siswa Indonesia yang tidak menggembirakan, terutama kaitannya dengan skor PISA.
Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan kepada sekolah untuk membuat kurikulum operasional dengan melihat konteks, sumber daya, dan kebutuhan sekolah masing-masing dengan mengikuti capaian pembelajaran yang ditetapkan pemerintah.
Meski telah berulang kali ganti kurikulum, sulit untuk mengatakan bahwa perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia didasarkan pada perencanaan jangka panjang atau mengikuti siklus tertentu layaknya negara-negara maju.
Dari fenomena tersebut tampak bahwa ada kepentingan politik tertentu dari para penguasa, serta mengindikasikan jika dunia pendidikan kita masih di bawah bayang-bayang dunia politik. Pengaruh politik memegang peranan dalam pengambilan kebijakan di dunia pendidikan, dan sering keinginan politik pemerintah tersampaikan dalam kegiatan pendidikan secara silent. Jadi dalam hal ini peran pemerintah sulit dipisahkan dan umumnya kondisi tersebut tidak disadari.
Memang kurikulum bagi banyak orang dianggap seakan-akan hanya masalah teknis pendidikan dan tidak ada kaitannya dengan masalah politik. Namun demikian konsep kekuasaan politik secara tidak langsung merasuk ke sistem pendidikan secara hidden curriculum. Kurikulum tersembunyi yang menggerakkan kurikulum yang berlaku, kelihatannya terlalu ditentukan oleh birokrasi pemerintah yang dikuasai oleh golongan elit. Tak mengherankan apabila kepentingan segolongan kecil kaum elit ini kemudian beralih kepada tuntutan kepentingan kelompok dan golongannya. Akibatnya kurikulum yang kita kenal adalah kurikulum yang tidak memenuhi tuntutan masyarakat dan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia.
Kalau dunia politik mendominasi dunia pendidikan, maka bukan kualitas pendidikan yang didapat, akan tetapi politisasi dunia pendidikan yang terjadi. Hal ini menyebabkan dunia pendidikan sulit untuk maju dan makin terpuruk, serta tidak jelas mau dibawa ke mana pendidikan Indonesia. Tilaar (2006) menyatakan, bahwa sumber kekacauan pendidikan Indonesia secara umum berasal dari politik kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah.
Kebijakan pendidikan yang dibuat jarang berkesinambungan dan kesannya dilakukan berdasarkan keinginan sesaat yang dilakukan oleh pejabat yang berkuasa. Ketika penguasa berpendapat tentang pentingnya nilai-nilai perjuangan 45, maka lahirlah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Begitu pula dengan kebijakan link and match diberlakukan, karena pejabatnya banyak yang alumni Jerman. Ketika pemimpin negeri ini berusaha keras menciptakan sistem status quo dengan rezim barunya, maka lahirlah materi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), (Moh, Zaini, 2010).
School is Dead
Seiring dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan sekarang kerap kali dijadikan alat politik. Ketika oknum aktor politik berkepentingan, baik ketika pemilihan legislatif maupun eksekutif, sering dalam kampanyenya menjanjikan pendidikan gratis. Apa yang terjadi setelah terpilih? Kita tahu sendiri apa arti janji itu. Kalau sudah kepentingan politik menguasai pendidikan, Everett Rimer dalam Abdurrahman Wahtudi (2008) menyatakan, bahwa school is dead, sekolah telah mati.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya proses pendidikan yang sarat dengan unsur politis. Sistem pendidikan tersebut akan menjadi sarana untuk memelihara keberlangsungan status quo. Padahal pakar pakar pendidikan telah mengingatkan, bahwa lembaga pendidikan semestinya bukanlah media untuk melestarikan kekuasaan, tetapi untuk memberikan pengetahuan dan informasi bagi semua kalangan serta pembebas umat manusia.
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.