Oleh Sartini, S.Pd.
Guru di SDN Blumbang
“Pahala seorang guru akan mengalir walaupun sudah meninggal,” demikian pesan guru ngajiku yang terus terngiang di telinga.
“Jika seorang insan meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga amal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang selalu mendoakan,” lanjutnya, dan memang demikian ajaran dalam agamaku.
Saat itu aku masih seorang gadis kecil yang duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Sejak saat itu aku mulai menggantungkan cita-cita menjadi guru. Ditambah lagi kekagumanku pada seorang guru di sekolah bernama Ibu Juminten. Beliau adalah seorang guru yang sangat pandai mengambil hati siswa. Kekagumanku makin membuncah ketika beliau sangat pandai bersandiwara. Jadi saat beliau menjelaskan materi kepada muridnya, beliau selalu mempraktikkan gerakan yang menyenangkan seolah-olah memainkan peran sandiwara.
Bu Juminten adalah guru kelas yang sangat mumpuni dalam berbagai ilmu, bahkan pelajaran olahraga pun beliau ajarkan. Pembawaannya yang ceria membuat muridnya betah dan antusias mendengarkan setiap penjelasannya.
Sejak itu aku selalu berdoa setiap malam menjelang tidur. Aku ingat betul doa yang tiap malam aku panjatkan. Doa itu berbunyi: “Ya Allah, jadikan aku guru ketika dewasa nanti. Jika tidak menjadi guru maka jadikan aku yang terbaik menurut Allah.” Itu aku ucapkan setiap malam. Sampai adik perempuanku yang sering kelon (tidur bareng) sampai sekarang suka mengingatkan doa tersebut sebagai candaan. Candaan itu dilontarkan karena aku sekarang sudah menjadi guru.
Keinginan menjadi guru makin menggebu lagi ketika aku duduk di bangku SMA. Saat itu aku sering ngobrol dengan kakak kelas yang sedang menempuh kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, yang sekarang berubah jadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Obrolan tersebut menjadi topik setiap kami bersama-sama menaiki bus umum untuk pulang ke rumah setelah seharian beraktivitas di sekolah.
Setelah tamat SMA, tentu saja perguruan tinggi yang kuinginkan adalah IKIP karena itu adalah perguruan tinggi yang bisa mengantarkan aku untuk mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru. Namun sepertinya Allah tidak memberikan jalan yang mulus dalam upaya menggapai cita-cita tersebut.
Aku dibesarkan di keluarga yang memiliki tingkat pendidikan yang bisa dibilang rendah. Saat kuutarakan ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, seperti dugaanku sebelumnya, aku mendapat pertentangan dari keluarga. Keluarga tidak menyetujui dengan dalih tidak ada biaya. Namun aku tetap ingin bisa kuliah meskipun aku juga menyadari hal itu.
Bapak adalah pedagang beras kecil-kecilan untuk menghidupi sembilan orang anggota keluarga. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Adik dari Bapak berjumlah 2 orang ikut keluarga kami karena Mbah Kakung (kakek) sudah meninggal saat Bapak dan saudaranya masih kecil. Jadi Bapak sebagai saudara tertua menjadi tulang punggung bagi mereka. Ada lagi Mbah Soka, tetangga yang hidup sebatang kara yang kemudian tinggal di rumah kami. Memang aku akui sangat mulia hati Bapak.
Tibalah saatnya Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Beberapa hari sebelum pelaksanaan ujian masuk perguruan tinggi tersebut, keluargaku masih tidak mengizinkan aku untuk mengikuti ujian. Salah satu nasihat dari keluarga adalah, “Kalau kamu kuliah, pasti nanti kita sekeluarga jadi miskin dan transmigrasi. Maka tidak usah kuliah.”
Doa-doa yang kupanjatkan di setiap malam semakin menggebu agar Allah mewujudkan cita-citaku di tengah keterbatasan yang ada. Terkadang hingga tak terasa bercucuran air mata ini.
Makin kukuatkan niat dengan memohon doa restu Ibu dan Bapak, aku tetap teguh pendirian ingin kuliah apapun risikonya. Maka dengan restu Simbok dan Bapak, aku memutuskan berangkat untuk mengikuti ujian perguruan tinggi. Dan bersyukur, aku diterima.
Saat itu aku mendaftar jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) bersama ketiga temanku. Dari kita berempat, saat itu hanya aku yang lolos. Bertambah keyakinanku kalau ini memang jalan Tuhan.
Untuk biaya kuliah, aku meminta kepada Simbok untuk menyisihkan uang dari hasil berdagang beras sebanyak 1000 rupiah per hari. Sehingga selama 6 bulan (180 hari), maka akan terkumpul 180.000 rupiah dalam satu semester. Karena waktu itu besaran uang semester memang hanya 180.000 rupiah.
Aku masih ingat setiap akan membayar uang semesteran, aku diminta Simbok untuk menukarkan uang recehan kepada tetangga kaya yang punya usaha toko pakan ternak yang sukses. Pernah suatu ketika aku membayar semester dengan uang recehan dikarenakan tetanggaku sedang tidak bisa menukar uang receh secara penuh. Dan aku dimarahi sederetan teman-teman yang antre membayar uang semester, karena petugas penerima uang membutuhkan waktu lama untuk menghitung uang receh yang kuserahkan. Meskipun pernah mendapat cemoohan dari temanku, tetapi aku tetap bersyukur masih dapat membayar secara penuh selama dua semester.
Setelah semester ketiga, betapa bersyukurnya aku karena mendapat beasiswa sebesar 65.000 rupiah per bulan. Sehingga sejak saat itu aku bisa menyewa kamar kos sendiri. Sedangkan untuk dua semester sebelumnya, aku masih menumpang kos tetangga saya yang kebetulan bekerja sebagai perawat di rumah sakit Bathesda Yogyakarta. Kuliahku lebih lancar setelah mendapat beasiswa. Kurasa ini adalah bentuk pertolongan Allah yang Maha Mendengar untuk hamba-Nya yang meminta.
Aku lulus DII PGSD di tahun 1995. Ada jeda waktu 10 bulan sebelum akhirnya aku diterima CPNS. Jeda waktu tersebut pastinya tidak kusia-siakan. Aku gunakan bekerja di sebuah toko busana muslim di Yogyakarta.
Akhirnya tepat terhitung mulai 1 Maret 1997, aku dapat menikmati menjadi guru seperti yang kuidam-idamkan. Setiap mengajar terasa seperti sedang rekreasi di tempat yang indah. Ada sesuatu yang lega entah itu di dada atau di hatiku.
Sebagai lulusan PGSD, aku mengajar kelas dengan berbagai mata pelajaran. Aku ditugaskan di sekolah di daerah pegunungan. Jalannya banyak tanjakan terjal dan melewati semacam sungai kering tinggal bebatuan. Pertama tahu lokasi tempat tugasku, aku seperti tidak percaya bahwa ini adalah duniaku. Karena medannya yang sulit, maka aku putuskan untuk kos.
Selain untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri, selalu aku sisihkan sebagian gajiku untuk Bapak dan Simbok. Bukan untuk balas jasa, karena jasa orang tua pasti tak akan terbalaskan dengan apapun.
Singkat cerita, setelah menjadi guru selama enam bulan, aku melanjutkan kuliah S1 di sebuah perguruan tinggi swasta.
Awal menjadi guru aku dipercaya mengajar di kelas empat SD. Aku mengajar kelas empat selama delapan tahun. Sampai akhirnya aku mutasi ke sekolah dekat rumah. Di sekolah dekat rumah tersebut, aku mengajar kelas enam selama 12 tahun. Mengajar di kelas enam ini aku menemukan kepuasan yang tiada terkira. Setiap tahun kelas yang aku ajar selalu mendapat peringkat satu atau dua di tingkat kecamatan dalam ujian.
Nikmat menjadi guru juga aku rasakan karena aku dapat membuat anak-anak jadi lebih pintar. Semula mereka belum bisa menghitung, sampai akhirnya mereka dapat menyelesaikan soal-soal yang perlu penalaran. Beberapa dari mereka tak jarang mengungkapkan bahwa pembelajaran Matematika dengan metode “Jembatan Keledai” yang kuajarkan masih dipakai sampai SMA dan kuliah.
Setelah mengajar di sekolah dekat rumah selama 12 tahun itu, aku dimutasi ke sekolah lain yang juga tidak jauh dari rumah untuk beralih tugas menjadi kepala sekolah di usiaku yang ke-43.
Sebelum aku mutasi, aku mengajar kelas empat sembari menunggu Surat Keputusan (SK) untuk tugas baruku. Siswa kelas empat yang aku ajar tersebut, sekitar enam bulan setelah kepindahanku, masih suka bertandang ke sekolah baruku. Pernah satu kelas berjumlah 28 anak sambang ke sekolah baruku diantar dengan mobil bersama orang tua mereka. Mataku berkaca menerima kedatangan mereka. Aku peluk mereka seperti anakku sendiri. Sepertinya mereka masih mengharapkan kehadiranku.
“Bu guru, di sini dua bulan saja, ya, Bu guru!” begitu celoteh sebagian dari mereka. Namun mereka dapat mengerti bahwa aku sudah pindah tugas setelah pelan-pelan aku beri pengertian.
Menjabat sebagai Kepala Sekolah sebetulnya hanya sampiran. Tugas utamaku adalah tetap mengajar sebagai guru karena aku lebih mendapatkan kepuasan ketika mengajar. Maka aku selalu mencari kesempatan agar aku tetap dapat mengajar di kelas.
Selama empat tahun ini aku menjadi Kepala Sekolah, aku luangkan waktu untuk berekreasi dengan mengajar siswa kelas enam di jam ke-0. Aku mulai mengajar pukul 06.30 sampai 07.00. Meskipun hanya sebentar, namun aku puas dapat menyalurkan ilmu kepada mereka. Dan aku yakin bahwa ilmu yang bermanfaat itu tidak akan berkurang meskipun diberikan, bahkan malah akan bertambah.
Selama menjadi Kepala Sekolah jika ada waktu luang aku gunakan untuk menulis. Menulis apa saja. Misalnya menulis puisi, artikel, laporan penelitian, atau modul. Untuk menyalurkan keinginanku untuk menulis, aku pun bergabung dengan Komunitas Guru Menulis Penelitian Tindakan Kelas/Sekolah (PTK/PTS). Sampai akhirnya aku dapat naik pangkat ke golongan IV b. Golongan yang tidak dapat menyangka aku dapat meraihnya.
Orang tuaku memberi nama yang pendek, Sartini. Dan mungkin terdengar kampungan. Agar namaku jadi lebih panjang maka harus ditambahi dengan gelar. Sartini, S, Pd., M.Pd, misalnya.
Sekarang usiaku sudah berkepala empat, namun semangat untuk selalu mengambangkan diri dan belajar masih sangat besar. Di periode kedua ketegasanku sebagai Kepala Sekolah ini, aku melanjutkan studi menempuh kuliah S2 di perguruan tinggi swasta. Demikian caraku untuk mengembangkan diri.
Kalau dulu aku hanya mengajar siswa, sekarang tugasku juga menjadi mentor untuk para rekan sejawat. Sesekali aku diminta mengisi dalam forum kegiatan guru atau Diklat untuk berbagi ilmu. Biasanya materi yang diminta terkait penerapan proses pembelajaran atau penerapan IT.
Semoga aku selalu dapat berbagi ilmu dan bermanfaat, sehingga menjadi tabungan di akhirat kelak. Demikian perjalananku meniti jalan menjadi guru. Semoga ini menginspirasi.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”
Editor: Moh. Haris Suhud
Artikel Meniti Jalan Menjadi Guru: Sartini pertama kali tampil pada NaikPangkat.com.
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon