Meniti Jalan Menjadi Guru: Elin Windari

Hallo, Salam kembali kita berjumpa. Informasi terbaru dari Admin nih tentang Meniti Jalan Menjadi Guru: Elin Windari. Yang dikutip dari naikpangkat.com.

Oleh Elin Windari, S.Pd.

Guru di SDN I Beringin Kencana

Menjadi seorang guru adalah cita-citaku sejak aku masih duduk di sekolah dasar. Sepulang sekolah atau saat libur ketika ruang kelas sedang kosong, aku dan beberapa sahabatku suka menuju ke sekolah  kami di SDN Sidoreno hanya untuk memperagakan gaya seorang guru yang mengajar. Di ruangan kelas itu, kami bergantian menjadi murid dan guru; bernyanyi, saling memberi materi, meminta salah satu yang memperagakan menjadi murid untuk maju ke depan kelas. 

Terkadang aku sengaja membawa pulang potongan kapur tulis yang berceceran di lantai kelas. Lalu aku menggunakan kapur tersebut untuk menulis di bawah meja ruang tamu di rumah yang terbuat dari serbuk kayu yang dipadatkan. Sembari tidur telentang di bawah meja, aku berpura-pura menjelaskan materi kepada siswa. Meskipun sebenarnya aku hanya berceloteh sendirian saja. Aku sangat bahagia melakukan itu. Dan jangan tanya debu kapurnya masuk mata atau tidak? Tentu saja, iya. Malah terkadang serbuk kapurnya tak sengaja masuk ke dalam mulut juga. Aku geli sendiri mengingatnya. 

Aku dan sahabatku sama-sama pernah berjanji suatu hari nanti akan menjadi seorang guru.

Meski akhirnya takdir kami rupanya berbeda. Kita tak pernah tahu, apa rencana Allah dan takdir yang telah ditetapkan-Nya. Namun, aku selalu berusaha dan bertekad supaya apa yang menjadi impianku terlaksana. Meskipun, aku sempat merasa tak yakin karena keadaan ekonomi keluarga sepertinya tak memungkinkanku  melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 

Saat duduk di bangku SMA, aku sempat berputus asa. Ketika mendekati ujian akhir, seluruh teman-temanku sibuk memilih universitas, sibuk membicarakan ke mana mereka melanjutkan kuliah, dan  mereka mulai mengikuti seleksi di beberapa universitas ternama. Sementara aku rasanya tak tega untuk membicarakan kuliah di hadapan orang tua. Untuk membiayai sekolah SMA saja mereka sudah cukup kewalahan. 

Setiap hari, aku harus berangkat menaiki angkutan umum yang berjarak kurang lebih 20 km dari rumah. Dan harus menaiki ojek setelahnya, karena angkutan umum yang kunaiki tak melewati sekolahku. Sehingga uang saku yang diberikan oleh orang tua lebih banyak digunakan untuk ongkos perjalanan. Sisanya hanya cukup untuk membeli nasi uduk dan satu gorengan. Itu sudah cukup sebagai bekal beraktivitas seharian di sekolah. 

Kedua orang tuaku adalah seorang petani. Mereka menghabiskan waktu seharian untuk mengurus tanaman milik sendiri maupun milik orang lain. Pernah suatu hari kami kehabisan uang, karena ongkos kerja orang tua belum waktunya dibayarkan. Saat itu ibuku berusaha meminjam pada tetangga untuk uang saku ke sekolah. Sementara itu aku sudah menunggu ibu di dalam mobil angkutan umum dengan rasa tak karuan. Segala doa kupanjatkan agar ibu  mendapat pinjaman. Jika tidak, bagaimana aku nanti membayar ongkos angkotnya? Dan bagaimana aku nanti pulang sekolah? 

Mobil perlahan mulai berjalan. Degup kencang di dalam dada sudah tak beraturan. Tubuhku seperti mati rasa. Tak hentinya aku menengok ke belakang. Namun bayangan ibu pun tak kunjung datang. Aku seperti berhenti bernapas saat laju mobil mulai ditingkatkan. Namun, sejurus kemudian teriakan ibu mulai menenangkan seluruh urat sarafku yang tegang. Dengan lari tergopoh-gopoh ibuku berusaha memberikan uang saku yang berhasil ia pinjam. Aku menerima uang itu dengan senyuman. 

Kutundukkan kepalaku menyembunyikan air mata yang ingin meluap begitu saja. Terbayang setiap peluh yang keluar dari tubuh ayah dan ibuku saat bekerja keras untukku. Tak ada yang bisa membalas setiap tetes jasa orang tua kepada anaknya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.

Menjemput Takdir

Dan bukankah Allah akan mengubah takdir seseorang jika ia sungguh-sungguh berusaha. Seperti dalam QS. Ar-Ra’d Ayat 11: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Usai lulus SMA, akhirnya aku mantap untuk menuntut ilmu di Universitas Terbuka. Dan diam-diam aku sudah mendaftarkan diri setelah mendapatkan bantuan informasi dan motivasi dari guru yang mengajarku dulu di sekolah dasar. Ibu Ni Wayan Rusmitini, S.Pd, namanya.  Itulah sosok yang sudah ikut mencurahkan hati, pikiran dan tenaganya untuk mendukungku menjadi seorang guru. Meskipun kami berbeda agama, tapi itulah toleransi. 

Akhirnya sembari kuliah, aku mengabdi menjadi guru honorer di sekolahku dulu, yaitu tempatku bermimpi menjadi seorang guru. Pertama datang ke sekolah, kakiku tak hentinya bergetar. Untung saja aku mengenakan hijab. Aku pun memakai rok panjang yang bisa menutupi kaki yang gemetar. 

Kukira aku belum diizinkan mengajar, namun rupanya saat itu juga aku diharuskan mengajar Bahasa Inggris di kelas 6.  Kutarik napas dalam-dalam, berusaha berjalan dengan tenang menuju kelas pertama yang akan kuajar. Untung saja aku mempunyai catatan doa menggunakan bahasa inggris dan beberapa materi di buku yang sudah aku persiapkan. Kusapa anak-anak dengan salam dan beberapa kalimat bahasa Inggris. Tentu saja kehadiranku masih asing bagi mereka. 

Tak butuh waktu lama setelah itu, aku pun ditugasi untuk mengajar bahasa Lampung. Karena memang waktu itu di sekolah kami kekurangan guru. Setahun kemudian, aku merangkap mengajar kelas 2, menggantikan guru Agama yang akan segera pensiun. 

Saat itu, ruang kelas sekolah kami hanya berjumlah 3 lokal sehingga jam sekolah harus dibagi. Ada siswa yang masuk pukul 07.00-12.00 dan ada yang masuk pukul 13.00-17.00.   Dengan tugas mengajar kelas 2 di jam pagi dan mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Lampung di jam siang untuk kelas 3-6, gaji yang kuterima secara keseluruhan saat itu adalah Rp150 ribu per bulan. 

Di semester ke-6 aku menikah dengan A. Fauzi Kurniawan, yang merupakan anak dari guru Agama di kelas 2 yang kugantikan. Dialah pacar pertama dan terakhirku yang telah menemaniku dan mengisi hari-hariku dengan semangat menuntut ilmu. 

Beberapa tahun setelah menikah, kami berusaha menyewa lahan dan menanam cabai kecil. Itulah bagian dari usaha kami. Saat itu kami benar-benar menimbang dan memikirkan bahwa itu satu-satunya langkah awal untuk memperbaiki hidup kami. Dan akhirnya pun aku juga memutuskan untuk pindah mengajar di SDN 1 Beringin Kencana yang dekat dengan tempat kami menyewa lahan.

Keputusan pindah aku buat karena saat itu aku ingin lebih banyak membantu pekerjaan suamiku sepulang mengajar. Karena kami tak bisa mempekerjakan orang setiap hari. Dan juga aku tidak ingin membebani kepala sekolah yang saat itu adalah Ibu Sriati, S.Pd.SD. Beliau selalu berbaik hati dan berinisiatif  jika tidak ada jam mengajar, aku diperbolehkan membantu suami. Namun, justru aku tak enak hati dengan kebaikan beliau. Akhirnya dengan bantuan informasi dari seorang teman aku mendaftar pindah mengajar. Dan oleh Ibu Suprihatin, S.P.d.SD  selaku kepala sekolah SDN 1 Beringin Kencana, Kecamatan Candipuro,  aku diterima menjadi salah satu bagian dari mereka. 

Langkah awal kami bertani cabai rupanya harus gagal. Padahal modal yang kami gunakan adalah uang  pinjaman dari sahabat dan saudara. Jumlahnya pun tak sedikit. Tapi kami tetap mencoba bangkit, tak berhenti  menanam. 

Tiap pulang dari sekolah, aku sering menumpang di tempat orang untuk istirahat sejenak dan sholat. Setelah itu ikut bekerja di lahan. Dan kami akan pulang ke rumah selepas magrib. Sampai di rumah, kami tak langsung istirahat tapi membawa putri kecil kami untuk berjalan-jalan setelah seharian ditinggalkan.

Dan rencana Allah tetap yang terbaik. Beberapa bulan setelah aku pindah mengajar, ada kesempatan untuk mengikuti seleksi CPNS. Alhamdulillah, berkat doa semua orang akhirnya aku mendapatkan SK PNS di tahun 2020. Dan semoga setelah 11 tahun mengajar, di usia ke-30 tahun ini, Allah memudahkan jalan menggapai segala cita-cita yang masih aku impikan. Amin ya Rabbal Alamin.

Manusia hanya berusaha, tapi Allah sebaik-baik perencana. Buktinya aku selalu mendapatkan bantuan melalui tangan-tangan manusia yang dikirimkan Allah untukku saat mengalami kesulitan. Siapapun itu hanya Allah sebaik-baik pemberi balasan. 

Aku selalu percaya selepas kesulitan Allah pasti akan memberikan kemudahan. Dan perjuanganku meniti jalan menjadi seorang guru masih panjang, aku masih akan terus belajar. 

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”

Editor: Moh. Haris Suhud

Artikel Meniti Jalan Menjadi Guru: Elin Windari pertama kali tampil pada NaikPangkat.com.



Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.


EmoticonEmoticon