Oleh Lia Anies Winianti, S.Si
Tak pernah terbayangkan dalam diri ini bahwa aku akan menjadi seorang guru. Meskipun sejak kecil, lingkungan dan orang-orang terdekatku sebagian besar adalah berprofesi sebagai guru. Bapak, Budhe, semuanya guru.
Aku tumbuh di sebuah desa kecil paling ujung barat Jawa Timur. Sejak SD aku sudah menjadi langganan juara kelas. Seperti kebanyakan anak kecil pada umumnya, aku pun punya cita-cita. Saat itu cita-cita yang terpatri di dalam benakku adalah menjadi seorang dokter, sebuah profesi yang dianggap keren bagi anak-anak seusiaku saat itu.
Sampai SMA pun aku masih tetap berkeinginan menjadi dokter dan selalu masuk dalam daftar mimpi dan doa–doa panjangku. Hingga pada akhirnya terjadi momen percakapan dengan Ayah dan Ibu yang membuatku pindah haluan. Saat memasuki bangku kuliah, aku disarankan ambil jurusan di mana aku sering menang lomba yaitu di bidang Matematika.
Ya, aku ambil jurusan Matematika di sebuah kampus negeri ternama di Surabaya. Jurusan Akuntansi sebagai pilihan kedua. Meskipun pada akhirnya tak bisa menjadi dokter, paling tidak kelak aku masih bisa menjadi pegawai di sebuah perusahaan besar atau menjadi dosen.
Berkelana di kota orang lain dan jauh dari orang tua, selain sibuk belajar aku sering terlibat dalam kegiatan bersama anak-anak. Dan aku juga bergabung dalam sebuah organisasi seperti Taman Pendidikan Al Qur’an di masjid kampus untuk mengurus anak-anak kurang mampu di sekitar kampus. Usia mereka rata-rata masih TK dan Sekolah Dasar. Menyanyi, membaca, mengaji adalah yang biasanya diajarkan di TPA tersebut.
Kecintaan mendidik anak-anak seperti ini tiba-tiba mengalir begitu saja. Beberapa pelatihan tentang pendidikan anak sering kuikuti karena itu amanah dari pengurus TPA.
Selain itu, aku juga melayani les privat. Motivasi awal sebenarnya untuk mengisi kantong yang kering. Karena merasa sudah besar, aku mulai malu minta uang kepada orang tua. Namun kemudian aktivitas mengajar menjadi rutinitas.
Pada saat memasuki semester 8, aku mendengar kabar pendirian sebuah sekolah dasar di dekat kos. Dan saat itu ada lowongan pekerjaan untuk mengajar yang tidak mensyaratkan sudah lulus sarjana (minimal sudah tugas akhir). Berbekal kepercayaan diri dan kecintaan pada anak-anak yang memotivasiku untuk mendaftar pada kesempatan tersebut. Apalagi kuliah juga tinggal mengerjakan tugas akhir (skripsi).
Dan aku merasa sejak saat itulah jalan menuju profesi sebagai guru makin jelas. Aku sangat menikmati masa masa belajar sambil mengajar. Namun aku harus banyak belajar karena latar belakang pendidikanku sebenarnya bukan untuk mengajar sekolah dasar. Aku harus mengasah ilmu pedagogik agar mampu melayani siswa dengan baik, bagaimana cara mengajarkan penjumlahan maupun perkalian dengan konsep yang benar, bagaimana mengajarkan memahami bacaan yang sangat panjang kepada anak-anak yang baru beranjak dari TK.
Sulitnya teori pedagogik ternyata masih kalah dengan tantangan sulitnya menaklukkan anak-anak. Sebagai seorang pendidik wajib memahami bagaimana cara tepat untuk berinteraksi dengan anak-anak. Terutama bagaimana menaklukkan anak-anak yang mempunyai tipe kepribadian yang berbeda. Ada yang mudah menangis hanya karena tersenggol oleh temannya; ada yang mudah marah hanya karena digoda temannya.
Mendidik anak-anak memang punya tantangan tersendiri. Ada anak yang suaranya sangat lirih sehingga sangat sulit mendengar apa yang diucapkan kecuali mendekat kepadanya; ada juga permasalahan toilet training yang belum tuntas pada peserta didik; kecemasan yang berlebihan saat berpisah dengan orang tua; masa tantrum yang belum selesai. Itu semua adalah pengalaman awal yang kurasakan saat menjadi seorang pendidik.
Mengajar di sekolah baru, tentu saja yang diajar adalah anak-anak masa awal belajar. Tidak akan ditemui anak di usia 10 tahun ke atas, sehingga ilmu parenting harus benar-benar dipelajari dengan baik. Masih lekat di ingatan, bagaimana harus menaklukkan anak yang tantrum dan menendang disertai dengan ngompol di tempat. Cakaran, cubitan, kadang mengenai bagian tubuh saat aku harus mendekap mereka yang sedang tantrum.
Selain tantangan belajar pedagogi dan parenting, bekerja saat masih mengerjakan tugas akhir juga menorehkan kisah indah. Energi yang cukup banyak harus keluar di pagi hari untuk memberikan pelayanan terbaik kepada murid, kemudian harus ada energi lagi di sore hingga malam untuk mengerjakan tugas akhir.
Tahun pertama sampai kelima merupakan wahana penggemblengan mental dan juga mengasah kemampuan mengajar. Beberapa masalah terkait kesiswaan atau kendala terkait metode mengajar datang silih berganti.
Perubahan fase kehidupan dari masa lajang lalu menikah yang kemudian mempunyai anak balita dengan jarak kelahiran yang lumayan dekat juga menorehkan kisah manis dan pahit dalam mengarungi kehidupan sebagai guru.
Di ujung tahun kelima mengajar, Allah berikan hadiah sebuah kesempatan yang langka yaitu bisa mengikuti ujian sertifikasi guru. Berpendidikan yang tidak linier dengan mata pelajaran yang diampu, lulusan Institut Teknologi, jam terbang mengajar baru 5 tahun membuat peluang gagal lolos seleksi sangat besar. Tetapi jika Sang Penguasa Jagad berkehendak, maka tak ada yang bisa melawan.
Ikhlas pangkal berkah, itulah pelajaran yang bisa diambil dari apa yang kualami selama ini. Semakin menyelami lebih dalam pengabdian hidup untuk mendidik anak-anak, makin kurasakan banyak keberkahan dalam hidup.
Dulu, aku sempat minder karena sebagai lulusan institut negeri ternama di Surabaya tetapi hanya menjadi seorang guru. Banyak saudara yang membandingkan-bandingkan profesiku dengan saudara yang lain. Tentu saja jika dihitung dengan logika manusia, apa yang kudapat tidak sebanding dengan pendapatan jika bekerja di tempat lain.
Namun semua itu aku syukuri. Apalagi aku mendapatkan pasangan hidup yang bisa mengerti, memahami, dan membantu dalam kondisi apapun. Tiga ‘jagoan’ yang shalih melengkapi kenikmatan ini. Melihat anak-anak yang karakternya terjaga, mampu memahami pelajaran dengan baik, melihat mereka tersenyum di setiap pagi adalah sebuah rezeki yang tidak akan pernah bisa diukur dengan materi.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon