Oleh Nasruddin, S.Pd.I
Mengajar di MTs Antasari Samarinda
Tepat pada saat menulis artikel ini, saya sedang menyusun proposal tesis untuk menyelesaikan Program Magister di salah satu universitas Islam di Samarinda. Di sisi lain, saya juga seorang guru yang mengampu beberapa mata pelajaran termasuk di antaranya Bahasa Arab, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Qur’an Hadits. Berada di posisi ini, sebelumnya tidak pernah terlintas dalam bayangan dan tidak pernah saya cita-citakan.
Saya terlahir dari keluarga petani yang sangat sederhana di sebuah Desa Lampihong Kanan, Kecamatan Lampihong, Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan. Lahir tahun 1984 dan saya adalah anak keempat dari delapan bersaudara.
Ayah dan ibu hanyalah seorang petani. Setiap hari harus turun ke sawah untuk menghidupi anak-anaknya. Orang tua saya, terutama ibu selalu berpesan kepada kami, “Kalian harus lebih baik dari kami. Cukup orang tua kalian yang tidak berpendidikan, bahkan tidak lulus SR (Sekolah Rakyat).”
Di usia anak yang kala itu tidak mengerti tentang kehidupan masa depan, kami hanya mengiyakan saja tanpa tahu apa yang harus kami lakukan.
Selesai SD, saya kemudian melanjutkan ke MTs yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Saya melanjutkan sekolah saat itu bukan karena ingin mewujudkan sebuah cita-cita atau tujuan tertentu, melainkan hanya untuk belajar dan menambah ilmu untuk melaksanakan pesan dari orang tua.
Ketika masa sekolah di MTs itu, keadaan ekonomi keluarga kami sering kekurangan. Sehingga saya sering ikut numpang dengan teman satu kelas untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya tidak kurang dari 5 KM. Pada saat menjalani pendidikan di MTs, saya juga bukan anak yang selalu berprestasi dalam akademik. Tapi saya punya prinsip harus bisa sekolah seperti kebanyakan orang dan bisa menyelesaikannya dengan baik.
Tepat di tahun 2000, saya bisa tamat dari MTs dengan baik. Kemudian saya melanjutkan ke pondok pesantren yang ada pendidikan formalnya tepatnya di Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai yang jaraknya kurang lebih 20 KM dari rumah saya. Nama pondok pesantren tersebut diambil dari salah seorang tokoh nasional, tokoh organisasi besar Islam di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU), deklarator sekaligus pemimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sekaligus satu-satunya orang Kalimantan yang bisa menduduki jabatan Menteri di kabinet Presiden Soeharto di masa orde baru, yaitu DR. KH. Idham Khalid.
Di pondok pesantren inilah saya banyak belajar ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu Agama, bahkan juga belajar kitab-kitab berbahasa Arab. Selama mondok di pesantren ini, saya juga banyak belajar hidup mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab. Tinggal di sebuah asrama membuat saya banyak menemukan hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah saya temui. Di sini saya mendapatkan teman yang berbeda-beda suku, ras, dan adat.
Pertama kali masuk asrama pondok adalah sebuah kenangan yang tidak bisa saya lupakan. Sebab itu adalah momen pertama kali harus hidup berpisah dengan orang tua. Sebelumnya dalam keseharian selalu ada orang tua yang mendampingi dan menyiapkan segala kebutuhan, tapi di pondok harus bisa mandiri.
Minggu pertama berada di asrama, yang saya rasakan adalah kesedihan, kegalauan. Saya banyak merenung memikirkan berbagai keadaan yang harus saya hadapi, saya harus bisa melakukannya dengan sendiri tanpa ketergantungan dengan orang tua lagi.
Pada bulan pertama mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas, materi pelajaran banyak yang berbahasa Arab. Nyaris tidak ada satu baris materi pelajaran pun yang bisa saya baca. Sehingga saya harus berjuang dan berusaha keras untuk dapat belajar semua pelajaran yang semua terasa asing bagi saya.
Di luar pembelajaran di kelas, di asrama, saya juga harus berhadapan dengan materi pembelajaran berbahasa Arab lagi karena semua santri diwajibkan berbicara menggunakan bahasa Arab. Apabila tidak menggunakan bahasa Arab, maka saya harus berani berhadapan dengan berbagai macam sanksi yang sudah disiapkan.
Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, saya bisa menjalani berbagai macam kegiatan dan aktivitas, baik di kelas ataupun di asrama. Di tahun ketiga, saya memutuskan pindah asrama, yaitu asrama tahfidz khusus untuk menghafal Al-Qur’an. Meskipun beda asrama, tapi kegiatan di sekolah berjalan seperti biasa.
Di kelas 3, saya memutuskan untuk mengambil jurusan IPA dan tetap tinggal di asrama tahfidz. Jadi kegiatan saya setiap hari, selain sekolah formal dari pagi sampai siang, pada sore sampai malam saya menghabiskan waktu untuk menghafal Al-Qur’an.
Dalam menjalani semua kegiatan dan rutinitas tersebut, anehnya saat itu tidak pernah mempunyai cita-cita apapun yang harus saya capai.
Selesai menjalani pendidikan di Madrasah Aliyah, saya tidak ada pikiran melanjutkan kuliah. Pada saat lulus dari Madrasah Aliyah pun, saya tidak pernah mempunyai cita-cita apapun, hanya ingin terus belajar di pondok untuk mendalami kitab-kitab berbahasa Arab yang sebelumnya asing bagi saya.
Kemudian saya konsultasi dengan guru saya di pondok, minta masukan apakah saya harus menempuh pendidikan non formal atau melanjutkan kuliah. Saran beliau, “Kamu harus kuliah, karena zaman kamu nanti sangat jauh berbeda dengan zaman saya. Di zaman sekarang, kamu dituntut harus serba bisa. Kamu hidup di zaman di mana semua orang memerlukan yang namanya ijazah lembaga pendidikan. Kemampuan kita akan diukur dengan strata pendidikan yang kita tempuh.”
Setelah berdiskusi panjang lebar dan mendapat saran dari guru, maka saya putuskan untuk melanjutkan kuliah. Saya masuk di perguruan tinggi yang masih satu komplek dengan pondok yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Arab.
Jika melihat penjurusan pendidikan saya sebelumnya, memang kontras dengan jurusan yang saya ambil pada saat kuliah. Tapi menurut saya, semua ilmu yang saya pelajari, khususnya pelajaran agama, insya Allah pasti akan bermanfaat.
Selama kuliah, saya banyak menjalankan bisnis meskipun tergolong kecil. Di samping kuliah, saya juga jualan obat-obatan pertanian. Terkadang juga jualan baju muslim, terkadang menyediakan jasa fotografer dan editing. Bisnis-bisnis tersebut menurut saya lebih menjanjikan secara finansial daripada harus mengajar.
Ketika kuliah hampir selesai, bisnis saya mengalami masalah besar yang ketika itu membuat saya sangat tertekan dan malu sama keluarga. Saya ditipu oleh rekan sendiri sehingga mengalami kerugian yang nominalnya mencapai puluhan juta rupiah.
Selain bisnis yang saya jalani dalam keadaan ambruk, urusan kampus juga berantakan. Skripsi tak kunjung selesai disebabkan karena kondisi ekonomi buruk yang saya hadapi.
Setelah kejadian itu, pada akhirnya saya fokus menyelesaikan kuliah sampai tuntas. Saya berpikir, mungkin Allah SWT memberikan cobaan peristiwa itu agar saya lebih mengutamakan ilmu daripada harus mengejar dunia yang membuat saya melupakan kewajiban menuntut ilmu.
Saya ingat guru saya pernah berpesan, “Ilmu itu seperti air di bendungan. Suatu saat dia akan tumpah dan mengalir keluar. Apabila orang punya ilmu, keberkahan akan datang dengan sendirinya tanpa ada yang bisa menghalanginya.”
Selesai saya kuliah, kemudian saya mengambil keputusan untuk hijrah ke Samarinda, Kalimantan Timur, dengan tujuan agar saya bisa mengajar, bisa memanfaatkan ilmu yang sudah saya dapatkan.
Sebelum saya berangkat ke Samarinda, saya menghubungi teman-teman yang dulu satu asrama pada saat di Pondok Pesantren Rakha. Saya mencoba untuk menanyakan perihal lowongan pekerjaan guru di Samarinda. Kemudian ada teman saya menyarankan untuk berangkat saja dulu ke Samarinda.
Tepat pada awal tahun 2012 berangkat ke Samarinda. Saya hanya meminta do’a restu dari kedua orang tua agar diberikan kemudahan dalam segala urusan. Sebelum saya berangkat saya berniat, semoga saja nanti ada lowongan dan bisa mengajar. Dan inilah awal mula keinginan untuk menjadi seorang guru. Dan keinginan mengajar tiba-tiba muncul dengan sangat kuat.
Awal tahun ajaran baru pada tahun 2012, saya memasukan sejumlah lamaran di beberapa sekolah. Saya diterima mengajar di empat sekolah: tiga MTs swasta dan satu sekolah tingkat SD yang bertaraf internasional yang merupakan salah satu sekolah favorit di Samarinda.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya mengajar di lebih dari satu sekolah dari tahun 2012 sampai 2017. Tapi saya mulai merasakan kelelahan disebabkan jarak antara satu sekolah dengan sekolah lainnya terlalu jauh. Apalagi sekolah tempat saya mengajar berada di perkotaan yang sering mengalami kemacetan lalu lintas, belum lagi ketika harus menghadapi cuaca yang terkadang tidak bersahabat.
Selain sebagai guru yang setiap harinya mengajar, saya juga mengembangkan potensi jiwa bisnis yang ada di dalam diri saya. Sampai hari ini, saya mempunyai usaha laundry yang bisa sebagai penopang ekonomi keluarga.
Dari usaha itu pula yang dapat saya gunakan untuk menempuh pendidikan Program Magister di salah satu universitas Islam yang ada di Samarinda. Saya sangat bersyukur kepada Allah yang selalu memberikan kemudahan dan jalan keluar dari setiap permasalahan yang saya hadapi. Saya juga sangat berterima kasih kepada orang tua saya, terkhusus lagi kepada ibu yang selalu memberikan do’a dan semangat “Kamu harus lebih baik dari orang tua.” Itulah kata-kata magis yang selalu saya ingat dan menjadi penguat bagi saya dalam menjalani urusan sehari-sehari. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon