Oleh Michael Alan Hirdi Pukada
Mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Sejak Kurikulum Merdeka diluncurkan pada tahun 2020, orang tua peserta didik memiliki peran penting dalam mensukseskan tujuan kurikulum tersebut.
Sebenarnya, peran orang tua dalam mendidik anak bukan hanya membayar uang sekolah (bagi sekolah swasta), menyiapkan bekal, atau menyiapkan seragam anak. Sayangnya, banyak orang tua yang mungkin masih terkungkung pada pola pikir lama, bahwa “anak disekolahkan maka sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru untuk mendidik secara kognitif, afektif dan psikomotorik”. Mereka berpikir bagai seorang pembeli yang memiliki modal dan wewenang untuk komplain jika ada yang tidak cocok dengan kemauannya terhadap pembentukan anaknya.
Padahal untuk mencapai tujuan Kurikulum Merdeka yang memuat penguatan Profil Pelajar Pancasila, diperlukan kerja sama yang intens antara guru, siswa dan orang tua. Orang tua harus mengubah perspektif mereka bahwa sekolah bukan tempat penitipan anak, sebab pendidikan yang efektif kini ditentukan oleh semua tenaga pendidik termasuk orang tua dan bukan hanya sekolah saja (Kurniati et al., 2023).
Perubahan perspektif orang tua memang tidak semudah peluncuran kurikulum baru ini yang sudah ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional sesuai Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Namun, perubahan perspektif ini bukan berarti tidak mungkin terjadi. Dibutuhkan kesadaran, penyesuaian, dan kebiasaan dari masing-masing orang tua bahwa mereka memiliki peranan yang sangat penting bagi anak-anak mereka khususnya dalam pembentukan karakter.
Jika mau berkata jujur, sesungguhnya orang tua lah yang memiliki tanggung jawab utama demi pembentukan karakter anak karena mereka yang memiliki kuantitas waktu lebih banyak bertemu dengan anak di rumah dari pada guru yang hanya bertemu tujuh jam dengan murid di sekolah. Orang tua merupakan garda terdepan bagi pembentukan karakter anak, karena pusat pendidikan yang pertama adalah lingkungan keluarga di mana orang tua menjadi contoh dan teladan bagi tumbuh kembang jiwa bahkan karakter anak (Pratiwi, 2018).
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis parenting sebagai upaya mendidik anak agar mereka mengalami pembentukan karakter yang merdeka sesuai dengan harapan dari Kurikulum Merdeka itu sendiri.
Parenting untuk Mendukung Kurikulum Merdeka
Pada prinsipnya, parenting adalah ilmu dan kegiatan perihal mengasuh dan membesarkan anak. Menurut para ahli, parenting adalah serangkaian keputusan tentang sosialisasi dan pengasuhan pada anak yang mencakup apa yang dilakukan oleh orang tua agar anak mengalami perkembangan yakni mampu bertanggungjawab dan memberikan kontribusi sebagai anggota masyarakat termasuk ketika anak menangis, marah, berbohong dan tidak melakukan kewajibannya dengan baik (Elyana, 2020).
Selanjutnya Elyana (Elyana, 2020) mengemukakan bahwa parenting (pengasuhan) bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental maupun sosial; dan kegiatan ini merupakan proses interaksi yang terus menerus antara orang tua terhadap anak.
Ada dua karakteristik orientasi pola komunikasi/interaksi keluarga yang mendukung pengasuhan orang tua terhadap anak, yaitu Conversation Orientation dan Conformity Orientation (Yoanita, 2022).
Conversation Orientation | Conformity Orientation |
Iklim komunikasi keluarga di mana semua anggota keluarga berpartisipasi secara bebas dalam percakapan. | Iklim komunikasi keluarga terfokus kepatuhan kepada orang tua, kesamaan sikap, nilai dan keyakinan. |
Anak didorong berpendapat dan diijinkan memiliki pandangan berbeda dengan orang tua. | Anak tidak memiliki kebebasan berpendapat karena semua keputusan akhir ada di tangan orang tua. |
Orang tua dan anak bisa saling mengekspresikan perasaan dan pikiran secara terbuka. | Orang tua meminta anak patuh tanpa banyak bertanya apalagi mendebat. Orang tua kadang merasa terganggu ketika anak memiliki perbedaan. |
Orang tua dan anak menikmati percakapan, meski tidak selalu sepakat tentang suatu hal. Perbedaan pendapat didiskusikan, bukan dihindari atau ditutupi. | Sangat penting untuk berada dalam sisi yang sama dengan orang tua. Ada topik-topik yang tidak dapat dibicarakan dalam percakapan keluarga. |
Rencana-rencana dan harapan-harapan masa depan didiskusikan bersama. | Orang tua merasa paling tahu hal terbaik dan benar untuk keluarga. |
Jika menimbang era yang sedang berlangsung saat ini, maka pola komunikasi/interaksi yang sesuai dengan parenting bagi anak generasi sekarang ialah Conversation Orientation. Sudah bukan zaman “Siti Nurbaya” lagi di mana anak harus dituntut ini dan itu sesuai dengan kehendak orang tua. Hal ini tidak berarti orang tua lepas tangan seutuhnya dari pengasuhan dan pelatihan bagi pertumbuhan anak. Anak-anak tetap membutuhkan pengasuhan dan pelatihan, karena mereka dilahirkan tidak untuk mencukupkan diri sendiri dan tidak dapat membesarkan diri sendiri (Munroe & Burrows, 2022).
Hanya saja pengasuhan dan pelatihan yang ideal untuk era ini ialah menerapkan pola Conversation Orientation di mana ada keterbukaan antara orang tua dan anak, sehingga anak mengalami pembentukan karakter yang ditandai dengan mental yang sehat, percaya diri dan keberanian untuk menghadapi dunia karena didukung penuh dari lingkungan keluarga.
Pembentukan Karakter Merdeka
Pembentukan karakter merupakan bagian dari penerapan Profil Pelajar Pancasila yang menjadi tujuan dari penerapan Kurikulum Merdeka. Profil Pelajar Pancasila sendiri memiliki enam dimensi, yakni (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; (2) Berkebhinekaan global; (3) Gotong royong; (4) Mandiri; (5) Bernalar kritis; (6) Kreatif. Ketika enam elemen ini tercapai, maka sesungguhnya seorang siswa atau anak telah terbentuk memiliki karakter yang merdeka. Namun demikian, pembentukan karakter ini tetap harus menjadi tugas orang tua dalam mendidik anak di lingkungan rumah. John Lock dalam teori “Tabula Rasa”, mengemukakan bahwa isi kejiwaan anak ketika dilahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong; terbentuk seperti apa anak itu tergantung bagaimana orang tua menulis dan apa yang ditulis pada kertas tersebut (Angkouw & Simon, 2020).
Menurut Taksonomi Krathwohl dan Bloom, pembentukan karakter merupakan puncak dari tingkat kemampuan di ranah afektif (sikap dan nilai) yang dimulai dari jenjang berikut:
- Menerima (Receiving)
Anak menerima suatu nilai dan memberikan perhatian pada nilai tersebut. Tahap ini anak memiliki “sikap”.
- Menanggapi (Responding)
Anak menjawab suatu nilai dan rasa puas dalam membicarakan nilai tersebut. Tahap ini anak memiliki “minat”.
- Menghargai (Valuing)
Anak menganggap nilai tersebut baik , menyukai nilai tersebut, dan komitmen terhadap nilai tersebut. Tahap ini anak memiliki “konsep diri”.
- Menghayati (Organizing and Conceptualizing)
Anak memasukkan nilai tersebut sebagai bagian sistem nilai dirinya. Tahap ini anak memiliki “nilai diri”.
- Mengkarakterisasi (Characterizing)
Anak mengembangkan nilai tersebut sebagai ciri nilai dirinya dalam berpikir, berkata, berkomunikasi, dan bertindak (karakter). Tahap ini anak memiliki “moral”.
Untuk mencapai pembentukan karakter di mana anak memiliki moral yang baik, maka orang tua harus menjadi teladan yang baik agar anak mulai menerima nilai yang baik dari apa yang dilihat, didengar dan diteladankan orang tuanya, sehingga kemudian berlanjut pada tahap responding, valuing, oraganizing dan akhirnya characterizing. Oleh karena itu, dapat dipastikan menjadi seperti apa dan bagaimana karakter seorang anak ditentukan dari keteladanan orang tua dalam menorehkan nilai-nilai kehidupan dalam jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) anak-anak.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengasuhan orang tua memiliki peranan yang sangat penting bagi pembentukan karakter anak. Lingkungan rumah tangga dan keluarga adalah lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat proses pembentukan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Angkouw, S. R., & Simon, S. (2020). Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan Agama Kristen Terhadap Pertumbuhan Rohani Anak. SHAMAYIM: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani, 1(1), 29–44. https://doi.org/10.51615/sha.v1i1.3
Elyana, L. (2020). Manajemen Parenting Class Melalui Media E-Learning. Sentra Cendekia, 1(1), 29–35. http://e-journal.ivet.ac.id/index.php/Jsc/article/view/1191
Kurniati, N., Halidjah, S., & Priyadi, A. T. (2023). Peran Orang Tua dalam Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Dasar Negeri 17 Kabupaten Sintang. JPDI (Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia), 8(3), 112–117.
Munroe, M., & Burrows, D. (2022). Kingdom Parenting (3rd ed.). Jakarta: Penerbit Immanuel.
Pratiwi, N. K. S. P. (2018). Pentingnya Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Karakter Anak Usia Sekolah Dasar. Adi Widya: Jurnal Pendidikan Dasar, 3(1), 83–91. https://doi.org/10.25078/aw.v3i1.908
Yoanita, D. (2022). Pola Komunikasi Keluarga Di Mata Generasi Z. Scriptura, 12(1), 33–42. https://doi.org/10.9744/scriptura.12.1.33-442
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon