Oleh Yayuk Setya Purwaningsih, ST.M.Eng.
Betapa kagetnya saya setelah sejam menjelaskan materi Mekanika Teknik. Tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang murid yang menyandarkan kepala di atas tangannya yang terlipat sebagai bantal, dan dia tertidur lelap. Kaget bercampur marah dalam hati, karena sebagai guru saya merasa tidak didengar dan tidak diperhatikan.
“Siapa namamu?” Saya bertanya kepadanya sambil berusaha membangunkan.
Hari itu adalah hari pertama saya mengajar di Kelas X Geomatika SMKN 1 Madiun setelah saya menempuh Pendidikan Strata Dua. Selama Dua tahun sekolah tersebut saya tinggalkan demi menempuh tugas belajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
“Namanya Wahyu. Sudah biasa setiap hari seperti itu, Bu.” Jawab teman-temannya serempak di dalam kelas.
“Lho , kenapa selama ini guru tidak marah?” tanya saya balik ke murid-murid.
“Tidak tahu, Bu.” Jawab teman-temannya serempak lagi.
Sesaat kemudian terdengar pintu diketuk. Tampak Bapak Drs. Purwanto sebagai Kepala Program di sekolah datang menghampiri saya. Kemudian beliau mengajak saya untuk berbicara di ruangnya, dan saya pun mengikutinya.
Ternyata kemarahan saya terhadap Wahyu terdengar oleh Kepala Program yang secara kebetulan ruangannya terletak di dekat kelas saya.
Beliau menjelaskan bahwa Wahyu itu kalau malam harus membantu ibunya berjualan nasi pecel sampai jam 04.00 pagi. Sementara ayah Wahyu sudah meninggal dunia dan meninggalkan tiga anak: Wahyu dan dua adiknya.
Rasa kasihan muncul di dalam hati saya, bertentangan dengan tekad saya sebagai seorang guru yang ingin memberi bekal ilmu yang nantinya bisa berguna bagi seorang murid.
Saya lantas kembali ke kelas dan menghampiri Wahyu, untuk besok tidak boleh ikut pelajaran saya kalau masih mengantuk. Kemudian saya menyarankan agar Wahyu membantu orang tua ketika sepulang sekolah dan pada malam hari pukul 22.00 harus sudah tidur.
Saya menjelaskan kepada Wahyu, jika nanti dia berhasil menjadi orang pintar yang sukses, maka akan dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Itu lebih baik daripada selamanya menjadi orang susah karena tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan.
Wahyu menganggukkan kepala sambil sesekali menatap saya, sebagai tanda setuju dengan persyaratan saya bahwa ia hanya boleh masuk kelas dalam keadaan tidak mengantuk.
Esok harinya Ketika saya kembali mengajar di kelas, Wahyu sudah duduk di depan dengan wajah ceria dan siap menerima ilmu dari guru. Cobaan hidup tidak boleh membuat Wahyu. Dan dia harus selalu berusaha untuk menjadi yang nomor satu di kelasnya.
Tiga bulan kemudian ketika rapor semester dibagikan, betapa senangnya Wahyu melihat loncatan nilai yang ia dapatkan, yaitu rata-rata 85. Sebelumnya Wahyu hanya menerima nilai rata-rata 75. Kebahagian yang tidak terbendung itu membuatnya mencari saya dan salim mencium tangan saya berulangkali serta mengucapkan terima kasih.
Enam bulan kemudian tiba lah saatnya kenaikan kelas dan Wahyu sebagai juara kelasnya. Hasil yang sangat memuaskan tampaknya tidak menjadikan Wahyu berhenti berjuang, sehingga gelar juara pun selalu disandangnya sampai kelas XII dan lulus dengan baik dari sekolah kejuruan SMK Negeri 1 Madiun selama 3 tahun dan selalu menjadi juara.
Setelah lulus, akhirnya Wahyu diterima di Politeknik Negeri Malang . Sejak itu saya sudah tidak bertemu dia lagi.
Beberapa tahun kemudian, guru-guru di sekolah saya mengadakan rapat tahunan, untuk membahas laporan dan rencana anggaran baru koperasi di Yogyakarta. Betapa kagetnya saya ketika seorang pemuda tampan bertubuh tinggi dan tegap menghampiri saya.
Dia mengucap salam dan mencium tangan saya, sambil mengatakan, “ Saya Wahyu, Bu. Masih ingat? Saya yang dimarahi Bu Yayuk saat tertidur di kelas.Terima kasih, Bu, kemarahan ibu adalah awal kesuksesan saya.”
Saya tidak mampu mengeluarkan kata. Menetes air mata saya terharu bercampur bangga dan senang melihat hasil didikan saya sudah menjadi seorang yang sukses. Dia sudah lulus S1 kemudian menempuh pendidikan S2 di Institut Teknologi Surabaya (ITS). Dan sekarang, dia juga sudah menjadi dosen di Polinema.
Cerita di atas menunjukkan bahwa guru merupakan salah satu faktor utama untuk mengantarkan anak didiknya menuju kesuksesan. Kesuksesan tidak bisa diraih dalam waktu yang singkat, melainkan kesuksesan harus melalui suatu proses yang lama dan membutuhkan usaha terus menerus.
Guru, selain mengajar ilmu yang dikuasai juga wajib menjelaskan, menanamkan, dan memberi contoh sikap yang baik kepada murid supaya terbiasa melakukan praktik baik untuk meraih cita-cita menjadi orang yang sukses.
Guru harus berani dengan tegas menegur dan melarang murid berbuat tidak baik. Contohnya, tidur di kelas, datang terlambat, masuk kelas tidak mengetuk pintu dan tidak memberi salam, tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), ramai di kelas, tidak menyapa guru, dan suka membantah guru.
Guru juga harus dapat memberi solusi atau contoh baik. Jika guru melarang murid melakukan sesuatu, maka guru tidak boleh melakukan sesuatu tersebut. Contoh, guru tidak boleh datang terlambat jika guru melarang murid untuk tidak datang terlambat. Guru wajib tersenyum dan memberi salam ketika masuk kelas. Praktik baik seperti ini akan dicontoh oleh murid.
Dan berikut ini adalah beberapa praktik baik yang perlu dilakukan oleh seorang guru:
- Guru hendaknya menguasai materi yang akan diajarkan, menciptakan suasana belajar yang tidak membosankan. Dengan begitu, murid akan selalu memperhatikan penjelasan guru dan ingin selalu datang masuk sekolah untuk bertemu dengan guru tersebut karena rasa penasaran untuk mendapatkan ilmu yang baru.
- Guru hendaknya menanamkan rasa percaya diri terhadap murid, hal ini dapat dilakukan dengan cara setiap murid menulis nomor absen dan namanya di papan tulis ketika guru melakukan presensi kehadiran.
- Guru hendaknya mengenalkan dan menyebutkan namanya berulangkali, seperti berikut ini: “Anak-anak, hari ini Bu Yayuk akan menjelaskan bagaimana cara menghitung konstruksi rangka batang.” Hal ini akan membuat murid tidak salah menyebut nama gurunya ketika bertemu dengan guru. Di samping itu, juga menanamkan saling mengenal dan menyapa.
- Guru hendaknya hafal nama setiap anak didiknya di kelas dan mengetahui kemampuan masing-masing anak didik. Hal ini membuat murid merasa diperhatikan, sehingga murid juga akan memperhatikan guru.
- Guru harus melatih kemandirian, seperti memberi soal berbeda untuk setiap murid dengan menggunakan kombinasi nomor urut absen. Misalnya: “Anak-anak, silakan menentukan jumlah reaksi, jika beban dikalikan dengan 3 kali nomor absen kalian.”
- Guru hendaknya menilai setiap hasil pekerjaan anak didiknya, karena hal ini dapat membuat murid bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.
- Guru hendaknya selalu memberi reward dalam bentuk pujian atau tambahan nilai untuk setiap anak didiknya yang sudah melaksanakan praktik baik, seperti ketika murid yang berpakaian rapi dan lengkap dengan atribut dasi, ikat pinggang, mendapat nilai yang baik dalam penilaian. Hal ini akan membuat murid selalu semangat dalam melakukan praktik baik setiap hari.
Dan praktik baik yang telah diajarkan guru kemudian dilakukan terus menerus oleh setiap anak didik maka akan menjadi salah satu kunci kesuksesan. (*)
NOTE: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam format buku antologi “Praktik Baik”—yang berisi kisah dan pengalaman terbaik para guru dalam mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses mendidik siswa.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.
Semoga Informasi di atas bermanfaat bagi kita semua. Majukan Pendidikan Indonesia yang bermartabat dan berkualitas.
EmoticonEmoticon